Senin, 09 Juli 2012

Makam Keramat Nyai Putri Rambut Cisadane


Makam Keramat Nyai Putri Rambut Cisadane
Menguak berbagai cerita dan luasnya kerajaan yang terletak di Jawa barat semuanya berawal dari Kerajaan Padjajaran yang hingga kini menjadi misteri dan banyak peneliti yang ingin mengetahui dimana keberadaan Monumen Kerajaan Padjajaran yang sebenarnya. Dengan didorong rasa cinta terhadap perkembangan sejarah dan para pendiri bangsa, penulis terpanggil  untuk mengangkat tentangs keberadaan Makam sejarah yang kini keberadaannya mulai banyak dikunjungi oleh peziarah yang  datang dari berbagai pelosok daerah yaitu Makam Keramat Nyai Putri Rambut Cisadane yang letaknya tidak jauh dari Makam Mbah Lurah Kalurahan (Aki Buyut) yang posisinya harus turun bukit yang berdampingan dengan aliran sungai cisadane yang menghubungkan wilayah Bogor dan Tangerang – Banten. Konon nama letak dari Makam Nyai Putri adalah Santri Manjang, nama Santri bila ditelaah dan dikaji bisa menggambarkan bahwa ajaran Islam telah sampai kepada perbatasan tersebut yang kemungkinan ajaran Islam tersebut syiarkan oleh Mbah lurah dan Ibu Lurah beserta putrinya sampai keperbatasan wilayah pesisir Cisadane yang menghubungkan ke wilayah Serpong – Tangerang Banten, yang berhubungan dengan adanya Makam Keramat Tajug Serpong yaitu Makam Syeh Tubagus Atief Muhammad Maulana bin Sultan Agung Tirtayasa dimana beliau adalah panglima perang Banten.
Selain nama hutan Santri Manjang di perbatasan itu ditemukan juga nama seperti daerah Cisawang, Cipulo, Cimangir, Cikoleang, Cidulang, Cikedokan, nama-nama tersebut sudah tidak asing  lagi terdengar di telinga kita,  dari nama-nama tersebut menggambarkan bahwa memang sudah adanya kehidupan orang tionghoa yang sampai ke wilayah tersebut dan sudah adanya hidup yang rukun antar wilayah kalurahan dan sekitarnya, dan menggambarkan sudah adanya toleransi umat beragama dimana hidup rukun, berdampingan dan saling hormat menghormati antar pemeluk agama satu dengan yang lainnya, walaupun memang tidak sumber yang dapat dijadikan pedoman dimana penulis hanya berdasarkan kepada situs sejarah dan terinspirasi dari Makam Mbah Lurah, Ibu Lurah Kalurahan dan Makam Keramat Nyai Putri Rambut Cisadane yang ada di hutan Santri Manjang.
Menurut berbagai sumber dari para pendahulu sesepuh Kampung Kalurahan (Alm. Mualim Abah Suhaca) beliau pernah mengatakan bahwa Makam Nyai Putri Rambut Cisadane merupakan putri dari Mbah Lurah dan Ibu Lurah Kalurahan yang merupakan kasuhunan karuhun dari orang-orang sunda wiwitan yang masih kental dengan paham adanya susuguhan yang mengenal adanya tradisi sebelum ziarah dengan menyuguhkan kopi pahit, kopi manis, sirih, pinang, menyan dan nasi tumpeng yang kini masih tetap tradisi tersebut sering dilakukan oleh para peziarah sebelum mengadakan pembacaan tahlil, tahmid dan dzikir.
Jika dikaji dari nilai filosofis bahwa susuguhan tersebut merupakan wujud syukur kepada Allah SWT, yang menggambarkan adanya rasa kebersamaan bahwa semua yang diciptakan oleh Allah SWT, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa pada hakikatnya semua berserah diri kepada Allah SWT, dan selalu bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW, agar kelak kita semua sebagai umatnya mendapatkan syafaatnya dari beliau. Dan janganlah sesekali kita keluar dari jalur ajaran Islam yang meminta selain kepada Allah SWT (Musrik), semua itu adalah merupakan pembelajaran bagi kita semua bahwa tradisi-tradisi tersebut merupakan warisan dari nenek moyang kita bahwa kita harus menghargai dan menghormati nilai budaya bangsa, hakikatnya adalah semua kita berserah diri kepada Allah SWT.
Dengan rasa sadar dan wujud syukur kepada Allah SWT, bahwa kita semua pasti akan kembali kepada pangkuannya dan semua yang bernyawa pasti akan mengalami kematian dan itu sudah pasti tidak ada yang bisa menundanya dan merubahnya. Begitupun dengan kita ziarah  mengunjungi makam-makam keramat dan makam para aulia ataupun makam walisongo itu merupakan mahabbah, rasa cinta kita kepada Nabi Muhammad SAW, berkat jasa-jasa beliau ajarannya sampai kepada kita dan janganlah sesekali kita berpaling dari Allah SWT.
(Oleh : Ust. H. Nursono S.Sos bin H. Ranawi)

Sabtu, 07 Juli 2012

Keramat tajug Serpong

SEJARAH KERAMAT TAJUG
Raden Muhammad Atief (Tubagus Atief) yang juga salah satu dari panglima perang Kerajaan Banten yang dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa mendapatkan tugas untuk membantu rakyat di Tangerang tepatnya di Benteng Selatan dalam melawan penjajahan Belanda sekaligus menyiarkan agama Islam.
Raden Muhammad Atief (Tubagus Atief) sendiri adalah putra dari Sultan Ageng Tirtayasa yang ke enam. Sultan Ageng Tirtayasa sendiri berputrakan sembilan anak yaitu :
1. Sultan Haji
2. Pangeran Purbaya
3. Pangeran Setiri
4. Pangeran Jogya
5. Raden Shoheh
6. Reden Muhammad Atief (Tubagus Atief)
7. Ratu Ayu
8. Ratu Fatimah
9. Ratu Komala (meninggal sewaktu kecil)
Setelah menyelesaikan tugasnya Di Benteng Selatan kemudian Raden Muhammad Atief (Tubagus Atief) kembali ke Banten dan mendapatkan gelar Tubagus Wetan dari ayahandanya sendiri Sultan Ageng Tyrtayasa. Karena jasa-jasanya kepada masyarakat disini maka masyarakat disini menikahkan Raden Muhammad Atief (Tubagus Atief) dengan Siti Almiyah wanita asli Desa Cilenggang ini dengan mas kawinnya Masjid Jami Al Ikhlas (dahulu Surau atau Tajug) yang sekarang masih berdiri.
Dikarenakan kondisi kesultanan Banten yang sedang mengalami kekacauan pada waktu itu yaitu adanya konflik antara Sultan Ageng Tyrtayasa dengan putranya sendiri Sultan Haji, hal ini menimbulkan kesulitan kepada Raden Muhammad Atief untuk memihak, maka Sultan Ageng Tyrtayasa memerintahkan kepada Raden Muhammad Atief (Tubagus Atief) untuk tinggal di Desa Cilenggang dengan membawa adiknya Ratu Ayu sambil tetap menyebarkan Agama Islam disini.
Dalam wasiatnya sebelum wafatnya kepada anak cucunya seandainya beliau wafat agar dimakamkan di dalam Surau atau Tajug (budaya masyarakat waktu itu dalam menyebut Surau) bersama dengan Ratu Ayu adik beliau yang wafat lebih dahulu. Dewasa ini masyarakat Desa Cilenggang pada khususnya dan masyarakat lain pada umumnya menyebut dengan istilah Kramat Tajug.
Asal muasal Gunung Puyuh Kramat Tajug
Dahulu Surau atau Tajug yang didirikan oleh Raden Muhammad Atief (Tubagus Atief) berdiri ditanah yang datar dan dikelilingi oleh persawahan. Ketika Raden Muhammad Atief (Tubagus Atief) dimakamkan di dalam Surau ini sesuai dengan wasiatnya, sebelumnya adik beliau Ratu Ayu juga dimakamkan disini. Maka lama kelamaan tanah yang tadinya datar berubah semakin meninggi yang sekarang dikenal oleh sebagian orang sebagai Gunung Puyuh. Tidak banyak orang mengetahui hal ini selain dari anak cucu keturunan Raden Muhammad Atief atau lebih dikenal sebagai Tugabus (Tb) Atief. Luas Gunung Puyuh ini diperkirakan sekarang mencapai sekitar dua hektar.
Raden Muhammad Atief (Tubagus Atief) menikah dengan Siti Almiyah memiliki empat putra yaitu :
1. Tubagus (Tb) Romadhon (dimakamkan di Kalipasir – Tangerang)
2. Tubagus (Tb) Arfah (dimakamkan di Kramat Tajug – Desa Cilenggang)
3. Tubagus (Tb) Raje (dimakamkan di Desa Kadubumbang – Cimanuk, Pandeglang)
4. Tubagus (Tb) Arja (dimakamkan di Gunung Sindur – Desa Jampang)
Keanehan lainnya adalah luas tanah dari Kramat Tajug yang sejak zaman dahulu juga berfungsi sebagai tempat pemakaman warga atau masyarakat Desa Cilenggang seakan tidak pernah sempit atau selalu cukup untuk dijadikan areal pemakaman baik oleh anak cucu dari Tubagus (Tb) Atief maupun oleh warga Desa Cilenggang sendiri.
Untuk menjaga kelestarian dari Kramat Tajug ini telah didirikan Yayasan Tubagus Atief yang diketuai oleh H. Tubagus (Tb) Imammudin dan juga Paguyuban Keluarga Muhammad Atief yang diketuai oleh H. Tubagus (Tb) Muin Basyuni dan Sekertaris Umumnya Tubagus (Tb) Moh. Sholeh Sutisna atau lebih dikenal dengan panggilan Sos Rendra
Sampai saat ini ritual ziarah masih sering dilakukan oleh keluarga dari Kramat Tajug. Setiap minggu ketiga pada setiap bulannya H. Tubagus Imammudin yang juga Ketua dari Yayasan Tubagus Atief memimpin sekitar 300 orang dari keturunan Kramat Tajug untuk ziarah dan tahlil. Dan setiap tanggal empat belas di bulan Maulid diadakan pencucian benda-benda milik dari Raden Muhammad Atief atau Tubagus (Tb) Atief.
Sampai sekarangpun masih banyak dari warga disekitar Desa Cilenggang dan masyarakat umum bahkan dari luar jawapun banyak yang datang untuk melakukan ziarah dan tirakat di Kramat Tajug.
(Tubagus Muhamad Atief – Anak dari Sultan Ageng Tyrtayasa)
Jika mengunjungi Desa Cilenggang, Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan, orang akan menemukan banyak situs bersejarah peninggalan masa lalu. Sayangnya apresiai pemerintah daerah tidak berbanding lurus dengan apresiasi masyarakat lokal untuk melestarikan keberadaan berbagai situs sejarah. Buktinya, kini situs-situs itu amat memprihatinkan lantaran tidak terawat atau terpelihara. Bahkan situs bersejarah itu seakan bisu, akibat sedikit penduduk lokal yang mampu mengisahkan riwayat sejarahnya. Jika ada, umumnya sudah berusia lanjut dan kurang runtut jika diminta menarasikan hal ihwal sebuah situs. Akibatnya, banyak pengunjung yang kesulitan memahami atau menangkap pesan sejarah di balik situs tersebut.
Di tempat ini, anda pasti akan dibuat kecewa karena tidak banyak penduduk yang mengetahui sejarahnya. Jika ada, narasi yang diberikan sepotong-sepotong dan terkadang kurang rasional karena kental dibumbui unsur mistis ketimbang data rasional.
Kebesaran kerajaan Banten di daerah ini seperti tak punya riwayat, tidak punya narasi arkeologis, kecuali dari narasi lisan dari penduduk sekitar yang sepotong-sepotong. Pertanyaan yang muncul kemudian, apa yang harus dilakukan masyarakat bersama pemangku kepentingan guna mempertahankan keberadaan situs sejarah itu? Pertanyaan ini menjadi penting diajukan.
Sebagai sebuah narasi sejarah local mutlak diperlukan. Sebab, sejarah tidak hanya memiliki narasi besar (mayor) yang berkisah tentang tokoh-tokoh dengan seluruh tindakan historisnya.
Sejarah, juga mengandung banyak serpihan yang mengandung narasi kecil (minor) tentang bangunan dengan seluruh pernik-perniknya, kisah manusia yang terjadi di dalam kemelut persoalan politik, sosial, budaya, dan hal-hal lain yang layak diketahui sebagai referensi bagi generasi demi generasi. Dalam konteks tersebut, situs-situs bersejarah merupakan tanda yang secara faktual dapat dibaca untuk mengenali sosok sebuah kekuasaan dan tokohnya secara komprehensif.
Selain itu, narasi sejarah lokal juga bisa menjadi sarana rekonstruksi sejarah agar spirit dari situs dan peninggalan sejarah itu, bisa menjiwai masyarakat di sekitarnya. Ketika masyarakat lokal tidak lagi memahami sejarah sebuah situs di daerahnya, maka bisa dipastikan perasaan untuk merawat dan menjaga itu akan hilang. Jangankan merawat, mengunjungi saja mereka enggan. Jika demikian halnya, transformasi nilai historis dan spirit sebuah situs terhadap penduduk lokal, tidak akan terjadi.
Kita tentu tidak ingin satu generasi mendatang, terlepas akar sejarahnya lantaran rusak dan musnahnya situs-situs sejarah. Sebelum terlambat, sudah saatnya pemerintah dibantu masyarakat, melakukan revitalisasi situs dalam bentuk pelesatariannya.
Para pengunjung ingin mengetahui kejayaan perjuangan Islam dan sejarah Kerajaan Banten disini serta perlawanan mereka terhadap penjajah Belanda melalui VOC-nya dimasa lalu bukan hanya dari situs-situs belaka. Mereka butuh narasi yang akan memberikan cara pandang baru, dan rasa ketertarikan lebih dalam tentang kota ini. Ketika ketertarikan itu muncul, mereka tentu akan kembali lagi tidak hanya sendirian, tetapi dengan keluarga dan rekan-rekannya. Sudah pasti, dunia pariwisata Tangerang Selatan pada umumnya dan masyarakat lokal sekitar situs akan diuntungkan.
Akhirnya, sudah saatnya kita membuat narasi sejarah situs-situs peninggalan masa lalu. Selain sebagai sebagai wujud penghargaan, melalui narasi itu kita bisa mengambil hikmah sembari meneruskan perjuangan para pendahulu. Semoga.
Ahli Waris Keramat Tajug Minta Perlindungan [Nusantara]
Khawatir Kena Gusur
Ahli Waris Keramat Tajug Minta Perlindungan
Tangerang, Pelita
Ahli waris Komplek Makam Keramat Tajug, Serpong, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Banten, mendesak Pemkot agar menjadikannya sebagai situs sejarah.
Bila terlambat diantisipasi, komplek makam itu dikhawatirkan akan terkena pengembangan, seperti terjadi di Tanjung Priok, Jakarta Utara baru-baru ini.
Drs H Abdul Muin Basyuni MM Ketua Umum Paguyuban Keluarga Besar Keramat Tajug mengatakan, desakan dari ahli waris dan para peziarah tersebut sudah lama digulirkan. Tetapi pihaknya merasa kesulitan mengingat Kota Tangsel masih dalam masa transisi.
Sebelum adanya pemekaran aspirasi ini sudah kami sampaikan ke Pemkab Tangerang. Namun belum ada tanggapan serius. Sementara pembangunan yang ada di kota ini semakin gencar dan kekhawatiran kian memuncak ketika dua air terjun di Pelayangan juga telah hilang, padahal itu juga merupakan cagar budaya yang diakui Pemkab, kata H Muin, Sabtu (17/4).
Menurut Muin, pengajuan Keramat Tajug sangat beralasan karena di lokasi itu terdapat makam Tb Atief, seorang Panglima Perang Kerajaan Banten pada Pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Dengan segala keterbatasan, Keramat Tajug sudah dikenal sebagai obyek wisata religi.
Peziarah Komplek Makam Keramat Tajug tidak hanya datang dari kawasan Banten dan Jawa Barat tapi juga Sumatera, Jakarta, Sulawesi, dan wilayah lainnya. Persoalannya mungkin beda bila nantinya disyahkan sebagai situs sejarah, bisa jadi yang datang ke sini dari semua kalangan dan tingkat pendidikan, lanjut Muin.
Muin berharap Pemkot memperhatikan situs ini mengingat derasnya pembangunan di Tangerang Selatan yang didominasi pengembang properti papan atas seperti Grup Sinarmas, Sumarecon, Agung Sedayu dan lain-lain. Meski pengembang seperti Sinarmas berjanji tidak akan menyentuh Tajug, kekhawatiran masih membebani para ahli waris.
Kecuali ada kesepakatan tertulis, kata Muin.
Sementara Dinas Pemuda, Olahraga, Budaya dan Pariwisata Kota Tangerang Selatan yang punya kewenangan tidak memiliki data terkait cagar budaya dan situs sejarah di seluruh wilayah Tangerang. Yang tersedia hanya data hotel, obyek wisata, mal dan restoran. Kota ini baru terbentuk satu tahun. Jangankan data situs, urusan internal kantor saja butuh penanganan serius, ucap Kadispora, Drs H Dadang Raharja, Sabtu lalu.
Kabid Budpar Drs Supryatna MM pun memberikan alasan yang sama. Pihaknya justru meminta peran serta budayawan dan tokoh masyarakat untuk mengggali dan melaporkan data itu.
Dadang berharap para ahli waris Tb Atief bisa sabar sampai usulan agar Keramat Tajug menjadi situs sejarah akan terlaksana.

Makam Keramat Gunung Sindur

Situs Sejarah dan Makam Keramat Mbah Lurah Kalurahan

Makam Mbah Lurah Kalurahan (Aki, Nyai Buyut Kalurahan) terletak di Kampung Kalurahan Desa Pabuaran Kec. Gunung Sindur Bogor  adalah merupakan situs sejarah yang sangat berharga yang kini keberadaannya tidak tersentuh oleh orang banyak. Bagi masyarakat kampung kalurahan Makam tersebut dianggap makam bersejarah dan keramat bagi warga, yang kini makam tersebut menjadi misteri siapakah Mbah Lurah dan Ibu Lurah Kalurahan.
Nama kampung kalurahan bersumber dari nama makam tersebut yang kini semakin pesat perkembangan serta pertumbuhan masyarakatnya sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah yang sudah ada kemajuan dibidang insfrastruktur pembangunan jalan serta tatanan masyarakat yang lebih maju.
Kehidupan masyarakat kampong kalurahan kebanyakan adalah petani dan pekerja buruh lepas yang mengandalkan kepada hasil pertanian dan lapangan kerja yang ada. Seiring dengan perkembangan zaman serta teknologi kini warga masyarakat sudah banyak anak-anak mereka yang bersekolah tinggi yang dulu konon hanya berpendidikan pesantren kini sudah menyenyam pendidikan tinggi, mudah-mudahan kemajuan serta pertumbuhan khususnya Kampung Kalurahan Desa Pabuaran Kec. Gunung Sindur Kab. Bogor ini lebih maju.
Berhubungan dengan Kampung Kalurahan dahulu ada yang disebut kampong Cisawang, ini adalah berdekatan sekali dengan Kampung Kalurahan yang kini keberadaannya telah hilang dan mulai dilupakan kebanyakan dari Kampung Cisawang ini adalah berketurunan tionghoa yang hidup rukun dengan warga setempat, mereka menjaga adat, kerukunan beragama serta saling hidup bergotong royong. Masyarakat kampong Cisawang selalu berinteraksi dengan warga Kampung Kalurahan kehidupan mereka sama kebanyakan mereka bertani. Namun kini hanya kenangan karena infrstruktur dari Kampung tersebut kini telah hancur merata seperti lautan termakan zaman dan derasnya pergusuran lahan akibat dari oknum pengusaha yang ingin meraup keuntungan tanpa memerhatikan lingkungan serta kurangnya kesadaran masyarakat.
Kini tinggal kenangan nama Cisawang mulai dilupakan satu-satunya pemersatu adalah situs makam Mbah Lurah yang menjadi benteng Kampung Kalurahan yang keberadaannya masih berdiri kokoh tidak ada satupun yang bisa merusak dan membongkar kampong ini. Nama Kalurahan adalah Karuhun bagi kalangan orang sunda yang erat hubungannya dengan kerajaan Sunda Padjajaran yang kini situs Mbah Lurah Kampung Kalurahan belum terjamah dan perhatian dari Dinas Purbakala, Arkeologi Kota Bogor. Hanya kalangan-kalangan tertentu yang dapat mengetahui dan berziarah kemakam ini, nama Kalurahan seperti asing terdengar tetapi Masyur keberadaannya bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.
Dahulu sering diadakannya tradisi BABARITAN bagi Kampung kalurahan acara tersebut biasanya diadakan kalau terjadi lini, tradisi tersebut adalah merupakan wujud syukur kepada sang pencipta bahwa kita harus selalu mengingat serta beribadah kepada Allah SWT, jangan melupakan kenikmatan sesungguhnya didunia ini tidak ada yang sempurna. Acara BABARITAN biasanya diadakan setahun sekali yang sudah menjadi tradisi bagi warga Kampung Kalurahan biasanya diadakan pada hari Jum’at setelah sholat Jum’at warga berduyun-duyun sambil membawa tumpeng ke Makam Mbah Lurah. Acara tersebut biasanya dengan membacakan tahlil, tahmid dan bermunajat kepada sang pencipta agar terhindar dari bahaya dan musibah. Namun saat sekarang acara tersebut sudah mulai dilupakan oleh warga masyarakat. Mudaha-mudahan acara tersebut jangan hanya diadakan kalau terjadi lini aja tetapi bisa dilestarikan setahun sekali sebagai ajang silaturahmi antar warga dan seluruh komponen masyarakat khususnya Desa Pabuaran dan Aparatur setempat. Ayo lestarikan budaya daerah angkat dan harumkan serta jaga Situs Mbah Lurah Kalurahan karena situs tersebut ada bukan terjadi begitu saja tetapi ada maksud dan tujuan yang terkandung didalamnya yang kini keberadaanya hampir dilupakan.
Karena situs-situs tersebut mempunyai hubungan dengan wilayah yang ada yang mempunyai hubungan erat dengan silsilah dan falsafah bangsa dan ini mencerminkan adanya keragaman budaya tradisi bangsa antara budaya satu dengan budaya yang lain, bahwa kita hidup harus rukun, damai dan saling berdampingan serta menjaga kerukunan umat beragama tanpa mendahulukan kepentingan pribadi atau golongan.
Bila dihubungkan dengan peristiwa kerusuhan di makam keramat Mbah Priok yang merupakan situs sejarah seharusnya membuka mata bangsa ini tentang bagaimana memperlakukan dan melestarikan peninggalan sejarah yang diwariskan oleh para pendahulu kita.
Sebagai orang yang selama beberapa tahun ini rajin berkunjung dan menziarahi situs-situs sejarah atau makam keramat nenek moyang terutama yang berhubungan dengan sejarah Sunda maka saya sangat memahami betapa pentingnya pelestarian peninggalan nenek moyang (karuhun dalam bahasa Sunda). Banyak orang yang berkata sinis dan nyinyir ketika saya rajin berkunjung ke tempat-tempat tersebut.
” Orang mati saja masih kamu urusi “
” Apa yang kamu cari dari situs-situs sejarah atau makam-makam keramat tersebut “
” Musyrik Cech, masih senang saja main sama setan “
” Cari pesugihan Cech “
” Klenik, irasionil kok dikejar-kejar “
” Mau cepat kaya Cech “
Itulah beberapa kalimat yang dilontarkan terhadap diri saya. Tetapi semuanya saya anggap angin lalu karena saya pikir mereka tidak mengerti apa niat saya berkunjung atau berziarah ke tempat-tempat tersebut. Sebagaimana anjuran Rasulullah SAW kepada umatnya untuk melakukan ziarah kubur dan mendoakan para orang tua kita yang telah meninggal maka saya rajin melakukan ziarah. Disamping itu saya banyak mendapatkan ilmu dan pelajaran tentang arti sebuah sejarah terutama sejarah diri, warisan, buah karya dan amal ibadah yang dilakukan oleh para pendahulu pada masa hidupnya dahulu. Dari situlah saya berusaha untuk bersikap arif dan banyak belajar bagaimana sikap dan perbuatan yang baik dari leluhur dalam menghadapi sebuah persoalan.
Intinya saya banyak mengerti tentang sejarah para leluhur yang dahulu sangat dihormati karena kewibawaannya, kepemimpinannya, kewelas asihannya, keimanannya, dan lebih utama lagi saya belajar tentang sejarah/identitas diri. Saya ada saat ini darimana asalnya, siapa orang tua-orang tua saya sebenarnya dan masih banyak lagi.
Ada beberapa hal yang kadangkala membuat saya miris. Misalnya banyak museum sejarah di daerah yang menyimpan beberapa peninggalan sejarah nenek moyang seperti keris, tongkat, tombak, alat musik, tarian, lukisan, mahkota dan lain-lain. Semua benda tersebut begitu dibangga-banggakan dan dirawat dengan sangat amat khusus perlakuannya. Tetapi ketika ditanya siapa yang menciptakan dan dimana makam orang-orang atau nenek moyang yang menciptakan benda-benda tersebut, kebanyakan mereka tidak bisa menjawab. Lha kalau kagum dengan hasil cipta, rasa dan karsanya maka sudah sewajarnya bahkan seharusnya mereka juga harus tahu dimana para leluhur yang membuat benda-benda bersejarah tersebut dimakamkan. Tetapi yang terjadi kebanyakan bingung dan minim informasi tentang keberadaan makam-makam leluhur. Dan hanya bisa prihatin/menyesal tanpa berbuat apapun ketika tahu makam-makam leluhur yang biasanya disertai dengan peninggalan sejarah akan digusur atau dihilangkan dari muka bumi dengan berbagai alasan oleh pemerintah ataupun pihak ketiga yang mempunyai kekuatan uang.
Perlu diketahui, dengan adanya makam keramat dan situs sejarah sebetulnya justru menghidupkan roda perekonomian warga sekitar yang ketempatan situs sejarah tersebut. Contohnya saja makam-makam Wali Sanga (terutama pada acara Ziarah Wali Sanga), makam Bung Karno di Blitar, Dayeuh Luhur di Sumedang, Candi Borobudur, Candi Prambanan dan sebagainya. Kebanyakan penduduk sekitar mendapatkan keuntungan ekonomi dari kunjungan para penziarah. Dan inipun juga inisiatif dan kreatifitas warga sekitar yang dulunya tidak mendapatkan perhatian pemerintah daerah. Pemerintah daerah baru bergerak atau memberikan fasilitas ketika tahu adanya perputaran kegiatan ekonomi. Ironis.
Rasanya sudah cukup saya menyampaikan kegusaran hati selama ini. Berikut saya akan sampaikan beberapa info penting tentang situs-situs sejarah yang disertai dengan makam-makam leluhur. Tapi mohon maaf kalau info ini hanya terbatas kepada sejarah Sunda karena memang itulah yang saya mengerti. Saya berharap Kompasianers yang mengetahui tentang situs/makam sejarah leluhur dari daerah lain seperti Mataram, Majapahit, Sriwijaya, Makasar, Batak, Bali, Sumba dan sebagainya bisa tergugah hatinya untuk memberikan informasi lewat tulisan di Kompasiana ini.
Para Leluhur Orang Sunda dan Makam-makamnya
  1. Pangeran Jayakarta (Rawamangun Jakarta)
  2. Eyang Prabu Kencana (Gunung Gede, Bogor)
  3. Mbah Lurah Kalurahan (Gunung Sindur – Bogor)
  4. Syekh Tubagus Atief Muhammad bin Sultan Agung Tirtayasa (Serpong)
  5. Syekh Jaenudin (Bantar Kalong)
  6. Syekh Maulana Yusuf (Banten)
  7. Syekh Hasanudin (Banten)
  8. Syekh Mansyur (Banten)
  9. Aki dan Nini Kair (Gang Karet Bogor)
  10. Syekh Djatullah Kahfi (Cirebon)
  11. Eyang Dalem Darpa Nangga Asta (Tasikmalaya)
  12. Eyang Dalem Yuda Negara (Pamijahan Tasikmalaya)
  13. Prabu Naga Percona (Gunung Wangun Malangbong Garut)
  14. Raden Karta Singa (Bunarungkuo Gn Singkup Garut)
  15. Embah Braja Sakti (Cimuncang, Lewo Garut)
  16. Embah Wali Tangka Kusumah (Sempil, Limbangan garut)
  17. Prabu Sada Keling (Cibatu Garut)
  18. Prabu Siliwangi (Santjang 4 Ratu Padjadjaran
  19. Embah Liud (Bunarungkup, Cibatu Garut)
  20. Prabu Kian Santang (Godog Suci, garut)
  21. Embah Braja Mukti (Cimuncang, Lewo Garut)
  22. Embah Raden Djaenuloh (Saradan, Jawa Tengah)
  23. Kanjeng Syekh Abdul Muhyi (Pamijahan Tasikmalaya)
  24. Eyang Siti Fatimah (Cibiuk, Leuwigoong Garut)
  25. Embah Bangkerong (Gunung Karantjang)
  26. Eyang Tjakra Dewa (Situ Lengkong, Pandjalu Ciamis)
  27. Eyang Prabu Tadji Malela (Gunung Batara Guru)
  28. Prabu Langlang Buana (Padjagalan, Gunung Galunggung
  29. Eyang Hariang Kuning (Situ Lengkong Pandjalu Ciamis)
  30. Embah Dalem Salinggih (Cicadas, Limbangan Garut)
  31. Embah Wijaya Kusumah (Gunung Tumpeng Pelabuhan Ratu)
  32. Embah Sakti Barang (Sukaratu)
  33. Syekh Abdul Rojak Sahuna (Ujung Kulon Banten)
  34. Prabu Tjanar (Gunung Galunggung)
  35. Sigit Brodjojo (Pantai Indramayu)
  36. Embah Giwangkara (Djayabaya Ciamis)
  37. Embah Haji Puntjak (Gunung Galunggung)
  38. Dewi Tumetep (Gunung Pusaka Padang, Ciamis)
  39. Eyang Konang Hapa/Embah Wrincing Wesi (Dayeuh Luhur, Sumedang)
  40. Embah Terong Peot/Batara Cengkar Buana (Dayeuh Luhur, Sumedang)
  41. Embah Sanghyang Hawu/Embah Djaya Perkosa (Dayeuh Luhur, Sumedang)
  42. Embah Nanggana (Dayeuh Luhur, Sumedang)
  43. Prabu Geusan Ulun (Dayeuh Luhur, Sumedang)
  44. Nyi Mas Ratu Harisbaya (Dayeuh Luhur, Sumedang)
  45. Eyang Anggakusumahdilaga (Gunung Pusaka Padang Ciamis)
  46. Eyang Pandita Ratu Galuh Andjarsukaresi (Nangerang)
  47. Embah Buyut Hasyim (Tjibeo Suku Rawayan, Banten)
  48. Eyang Mangkudjampana (Gunung Tjakrabuana, Malangbong Garut)
  49. Embah Purbawisesa (Tjigorowong, Tasikmalaya)
  50. Embah Kalidjaga Tedjakalana (Tjigorowong, Tasikmalaya)
  51. Embah Kihiang Bogor (Babakan Nyampai, Bogor)
  52. Aki Wibawa (Tjisepan, Tasikmalaya)
  53. Embah wali Mansyur (Tomo, Sumedang)
  54. Prabu Nagara Seah (Mesjid Agung Tasikmalaya)
  55. Sunan Rumenggang (Gunung Batara Guru)
  56. Embah Hadji Djaenudin (Gunung Tjikursi)
  57. Eyang Dahian bin Saerah (Gunung ringgeung, garut)
  58. Embah Giwangkarawang (Limbangan Garut)
  59. Nyi Mas Layangsari (Gunung Galunggung)
  60. Eyang Sunan Cipancar (Limbangan garut)
  61. Eyang Angkasa (Gunung Kendang, Pangalengan)
  62. Embah Kusumah (Gunung Kendang, Pangalengan)
  63. Eyang Puspa Ligar (Situ Lengkong, Panjalu Ciamis)
  64. Kimandjang (Kalapa 3, Basisir Kidul)
  65. Eyang Andjana Suryaningrat (Gunung Puntang Garut)
  66. Gagak Lumayung (Limbangan Garut)
  67. Sri Wulan (Batu Hiu, Pangandaran Ciamis)
  68. Eyang Kasepuhan (Talaga Sanghiang, Gunung Ciremai)
  69. Aki manggala (Gunung Bentang, Galunggung)
  70. Ki Adjar Santjang Padjadjaran (Gunung Bentang, Galunggung)
  71. Eyang Mandrakuaumah (Gunung Gelap Pameungpeuk, Garut)
  72. Embah Hadji Muhammad Pakis (Banten)
  73. Eyang Boros Anom (Situ Lengkong, Pandjalu Ciamis)
  74. Embah Raden Singakarta (Nangtung, Sumedang)
  75. Raden Rangga Aliamuta (Kamayangan, Lewo-Garut)
  76. Embah Dalem Kasep (Limbangan Garut)
  77. Eyang Imam Sulaeman (Gunung Gede, Tarogong)
  78. Embah Djaksa (Tadjursela, Wanaraja)
  79. Embah Wali Kiai Hadji Djafar Sidik (Tjibiuk, Garut)
  80. Eyang Hemarulloh (Situ Lengkong Pandjalu)
  81. Embah Dalem (Wewengkon, Tjibubut Sumedang
  82. Embah Bugis (Kontrak, Tjibubut Sumedang)
  83. Embah Sulton Malikul Akbar (Gunung Ringgeung Garut)
  84. Embah Dalem Kaum (Mesjid Limbangan Garut)
  85. Mamah Sepuh (Pesantrean Suralaya
  86. Mamah Kiai hadji Yusuf Todjiri (Wanaradja)
  87. Uyut Demang (Tjikoneng Ciamis)
  88. Regregdjaya (Ragapulus)
  89. Kiai Layang Sari (Rantjaelat Kawali Ciamis)
  90. Embah Mangun Djaya (Kali Serayu, Banjarnegara)
  91. Embah Panggung (Kamodjing)
  92. Embah Pangdjarahan (Kamodjing)
  93. Syekh Sukri (Pamukiran, Lewo Garut)
  94. Embah Dipamanggakusumah (Munjul, Cibubur)
  95. Aki Mandjana (Samodja, Kamayangan)
  96. Eyang Raksa Baya (Samodja, Kamayangan)
  97. Embah Dugal (Tjimunctjang (
  98. Embah Dalem Dardja (Tjikopo)
  99. Embah Djaengranggadisastra (Tjikopo)
  100. Nyi Mas Larasati (Tjikopo)
  101. Embah Dalem Warukut (Mundjul, Cibubur)
  102. Embah Djaya Sumanding (Sanding)
  103. Embah Mansur Wiranatakusumah (Sanding)
  104. Embah Djaga Alam (Tjileunyi)
  105. Sembah Dalaem Pangudaran (Tjikantjung Majalaya)
  106. Sembah Dalem Mataram (Tjipantjing)
  107. Eyang Nulinggih (Karamat Tjibesi, Subang)
  108. Embah Buyut Putih (Gunung Pangtapaan, Bukit Tunggul)
  109. Embah Ranggawangsa (Sukamerang, bandrek)
  110. Eyang Yaman (Tjikawedukan, Gunung Ringgeung Garut)
  111. Embah Gurangkentjana(Tjikawedukan, Gunung Ringgeung Garut)
  112. Embah Gadjah Putih (Tjikawedukan Gunung Wangun)
  113. Ratu Siawu-awu (Gunung Gelap, Pameungpeuk Sumedang)
  114. Embah Mangkunegara (Cirebon)
  115. Embah Landros (Tjibiru Bandung)
  116. Eyang Latif (Tjibiru Bandung)
  117. Eyang Penghulu (Tjibiru Bandung)
  118. Nyi Mas Entang Bandung (Tjibiru Bandung)
  119. Eyang Kilat (Tjibiru Bandung)
  120. Mamah Hadji Umar (Tjibiru Bandung)
  121. Mamah Hadji Soleh (Tjibiru Bandung)
  122. Mamah Hadji Ibrahim (Tjibiru Bandung)
  123. Uyut Sawi (Tjibiru Bandung)
  124. Darya bin Salmasih (Tjibiru Bandung)
  125. Mamah Hadji Sapei (Tjibiru Bandung)
  126. Embah Hadji Sagara Mukti (Susunan Gunung Ringgeung)
  127. Eyang Istri (Susunan Gunung Ringgeung)
  128. Eyang Dewi Pangreyep (Gunung Pusaka Padang Garut)
  129. Ratu Ayu Sangmenapa (Galuh)
  130. Eyang Guru Adji panumbang (Tjilimus Gunung Sawal)
  131. Eyang Kusumah Adidinata (Tjilimus Gunung Sawal)
  132. Eyang Rengganis (Pangandaran Ciamis)
  133. Ki Nurba’in (Sayuran, Gunung Tjikursi)
  134. Buyut Dasi (Torowek Tjiawi)
  135. Embah Buyut Pelet (Djati Tudjuh Kadipaten)
  136. Embah Gabug (Marongge)
  137. Eyang Djayalaksana (Samodja)
  138. Nyi Mas Rundaykasih (Samodja)
  139. Nyi Mas Rambutkasih (Samodja)
  140. Eyang Sanghiang Bongbangkentjana (Ujung Sriwinangun)
  141. Eyang Adipati Wastukentjana (Situ Pandjalu Ciamis)
  142. Eyang Nila Kentjana (Situ Pandjalu, Ciamis)
  143. Eyang Hariangkentjana (Situ Pandjalu Ciamis)
  144. Embah Dalem Tjikundul (Mande Cianjur)
  145. Embah Dalem Suryakentjana (PantjanitiCianjur)
  146. Embah Keureu (Kutamaneuh Sukabumi)
  147. Ibu Mayang Sari (Nangerang Bandrek Garut)
  148. Eyang Prabu Widjayakusumah (Susunan Payung Bandrek Garut)
  149. Embah Sayid Kosim (Gunung Alung Rantjapaku)
  150. Embah Bang Sawita (Gunung Pabeasan Limbangan Garut)
  151. Uyut Manang Sanghiang (Banten)
  152. Eyang Ontjar (Nyampai Gunung Bungrangrang)
  153. Eyang Ranggalawe (Talaga Cirebon)
  154. Ibu Siti Hadji Djubaedah (Gunung Tjupu Banjar Ciamis)
  155. Mamah Sepuh ((Gunung Halu Tjililin Bandung)
  156. Embah Sangkan Hurip (Ciamis)
  157. Embah Wali Abdullah (Tjibalong Tasikmalaya)
  158. Mamah Abu (Pamidjahan Tasikmalaya)
159.                      Embah Dalem Panungtung Hadji Putih Tunggang Larang Curug Emas (Tjadas Ngampar Sumedang)
  1. Raden AstuManggala (Djemah Sumedang)
  2. Embah Santiung (ujung Kulon Banten)
  3. Eyang Pandita (Nyalindung Sumedang)
  4. Embah Durdjana (Sumedang)
  5. Prabu Sampak Wadja (Gunung Galunggung Tasikmalaya)
  6. Nyi Mas Siti Rohimah/Ratu Liongtin (Jambi Sumatera)
  7. Eyang Parana (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya)
  8. Eyang Singa Watjana (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya)
  9. Eyang Santon (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya)
  10. Eyang Entjim (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya)
  11. Eyang Dempul Wulung (Djaga Baya Ciamis)
  12. Eyang Dempul Walang (Djaga Baya Ciamis)
  13. Eyang Giwangkara (Djaga Baya Ciamis)
  14. Embah Wali Hasan (Tjikarang Bandrek, Lewo Garut)
  15. Embah Raden Widjaya Kusumah (Tjiawi Sumedang)
  16. Dalem Surya Atmaja (Sumedang)
  17. Eyang Rangga Wiranata (Sumedang)
  18. Eyang Mundinglaya Dikusumah (sangkan Djaya, Sumedang)
  19. Eyang Hadji Tjampaka (Tjikandang, Tjadas Ngampar Sumedang)
  20. Eyang Pangtjalikan (Gunung Ringgeung Garut)
  21. Eyang Singa Perbangsa (Karawang)
  22. Embah Djaga Laut (Pangandaran)
  23. Raden Ula-ula Djaya (Gunung Ringgeung Garut)
  24. Raden Balung Tunggal (Sangkan Djaya, Sumedang)
  25. Syekh Haji Abdul Ghorib di Cibeas, Kec. Kawalu Kota Tasikmalaya
185.                      Eyang Prabudilaya di tengah pulau Situ Gede, Kec. Mangkubumi Kota Tasikmalaya
186.                      Dalem Sakarembong (Nyai Karembong) di Bantar, Kota Tasikmalaya
187.                      Eyang Dipa Manggal yang tak lain dan tak bukan adalah Eyang Prabu Tajimalela
188.                      Eyang Rangga Wulung di Tarikolot Cimande
189.                      Eyang Kerta Singa di Cimande
190.                      Ki Bonda Kusuma di Kp. Payangan, Kranggan
191.                      Ki Rangga di Kp. Jatirangga, Kranggan
192.                      Mbah Raden,
193.                      Ki Buyut Laut
194.                      Ki Bondan Kusuma
195.                      Prabu Tajimalela
196.                      Prabu Lembu Agung
197.                      Prabu Batara Anggara
198.                      Prabu Tarumanagara
199.                      Prabu Walang Sungsang Cakrabuana
200.                      Prabu Munding Wangi
201.                      Prabu Kian Santang
202.                      Prabu Geusan Ulun
Makam-makam diatas baru sebagian kecil saja yang bisa disampaikan. Masih banyak lagi situs sejarah dan makam keramat yang tidak dapat disebutkan satu per satu.