SEJARAH KERAMAT TAJUG
Raden Muhammad Atief (Tubagus Atief) yang juga salah satu dari
panglima perang Kerajaan Banten yang dipimpin oleh Sultan Ageng
Tirtayasa mendapatkan tugas untuk membantu rakyat di Tangerang tepatnya
di Benteng Selatan dalam melawan penjajahan Belanda sekaligus menyiarkan
agama Islam.
Raden Muhammad Atief (Tubagus Atief) sendiri adalah putra dari Sultan
Ageng Tirtayasa yang ke enam. Sultan Ageng Tirtayasa sendiri
berputrakan sembilan anak yaitu :
1. Sultan Haji
2. Pangeran Purbaya
3. Pangeran Setiri
4. Pangeran Jogya
5. Raden Shoheh
6. Reden Muhammad Atief (Tubagus Atief)
7. Ratu Ayu
8. Ratu Fatimah
9. Ratu Komala (meninggal sewaktu kecil)
Setelah menyelesaikan tugasnya Di Benteng Selatan kemudian Raden
Muhammad Atief (Tubagus Atief) kembali ke Banten dan mendapatkan gelar
Tubagus Wetan dari ayahandanya sendiri Sultan Ageng Tyrtayasa. Karena
jasa-jasanya kepada masyarakat disini maka masyarakat disini menikahkan
Raden Muhammad Atief (Tubagus Atief) dengan Siti Almiyah wanita asli
Desa Cilenggang ini dengan mas kawinnya Masjid Jami Al Ikhlas (dahulu
Surau atau Tajug) yang sekarang masih berdiri.
Dikarenakan kondisi kesultanan Banten yang sedang mengalami kekacauan
pada waktu itu yaitu adanya konflik antara Sultan Ageng Tyrtayasa
dengan putranya sendiri Sultan Haji, hal ini menimbulkan kesulitan
kepada Raden Muhammad Atief untuk memihak, maka Sultan Ageng Tyrtayasa
memerintahkan kepada Raden Muhammad Atief (Tubagus Atief) untuk tinggal
di Desa Cilenggang dengan membawa adiknya Ratu Ayu sambil tetap
menyebarkan Agama Islam disini.
Dalam wasiatnya sebelum wafatnya kepada anak cucunya seandainya
beliau wafat agar dimakamkan di dalam Surau atau Tajug (budaya
masyarakat waktu itu dalam menyebut Surau) bersama dengan Ratu Ayu adik
beliau yang wafat lebih dahulu. Dewasa ini masyarakat Desa Cilenggang
pada khususnya dan masyarakat lain pada umumnya menyebut dengan istilah
Kramat Tajug.
Asal muasal Gunung Puyuh Kramat Tajug
Dahulu Surau atau Tajug yang didirikan oleh Raden Muhammad Atief
(Tubagus Atief) berdiri ditanah yang datar dan dikelilingi oleh
persawahan. Ketika Raden Muhammad Atief (Tubagus Atief) dimakamkan di
dalam Surau ini sesuai dengan wasiatnya, sebelumnya adik beliau Ratu Ayu
juga dimakamkan disini. Maka lama kelamaan tanah yang tadinya datar
berubah semakin meninggi yang sekarang dikenal oleh sebagian orang
sebagai Gunung Puyuh. Tidak banyak orang mengetahui hal ini selain dari
anak cucu keturunan Raden Muhammad Atief atau lebih dikenal sebagai
Tugabus (Tb) Atief. Luas Gunung Puyuh ini diperkirakan sekarang mencapai
sekitar dua hektar.
Raden Muhammad Atief (Tubagus Atief) menikah dengan Siti Almiyah memiliki empat putra yaitu :
1. Tubagus (Tb) Romadhon (dimakamkan di Kalipasir – Tangerang)
2. Tubagus (Tb) Arfah (dimakamkan di Kramat Tajug – Desa Cilenggang)
3. Tubagus (Tb) Raje (dimakamkan di Desa Kadubumbang – Cimanuk, Pandeglang)
4. Tubagus (Tb) Arja (dimakamkan di Gunung Sindur – Desa Jampang)
Keanehan lainnya adalah luas tanah dari Kramat Tajug yang sejak zaman
dahulu juga berfungsi sebagai tempat pemakaman warga atau masyarakat
Desa Cilenggang seakan tidak pernah sempit atau selalu cukup untuk
dijadikan areal pemakaman baik oleh anak cucu dari Tubagus (Tb) Atief
maupun oleh warga Desa Cilenggang sendiri.
Untuk menjaga kelestarian dari Kramat Tajug ini telah didirikan
Yayasan Tubagus Atief yang diketuai oleh H. Tubagus (Tb) Imammudin dan
juga Paguyuban Keluarga Muhammad Atief yang diketuai oleh H. Tubagus
(Tb) Muin Basyuni dan Sekertaris Umumnya Tubagus (Tb) Moh. Sholeh
Sutisna atau lebih dikenal dengan panggilan Sos Rendra
Sampai saat ini ritual ziarah masih sering dilakukan oleh keluarga
dari Kramat Tajug. Setiap minggu ketiga pada setiap bulannya H. Tubagus
Imammudin yang juga Ketua dari Yayasan Tubagus Atief memimpin sekitar
300 orang dari keturunan Kramat Tajug untuk ziarah dan tahlil. Dan
setiap tanggal empat belas di bulan Maulid diadakan pencucian
benda-benda milik dari Raden Muhammad Atief atau Tubagus (Tb) Atief.
Sampai sekarangpun masih banyak dari warga disekitar Desa Cilenggang
dan masyarakat umum bahkan dari luar jawapun banyak yang datang untuk
melakukan ziarah dan tirakat di Kramat Tajug.
(Tubagus Muhamad Atief – Anak dari Sultan Ageng Tyrtayasa)
Jika mengunjungi Desa Cilenggang, Kecamatan Serpong, Kota Tangerang
Selatan, orang akan menemukan banyak situs bersejarah peninggalan masa
lalu. Sayangnya apresiai pemerintah daerah tidak berbanding lurus dengan
apresiasi masyarakat lokal untuk melestarikan keberadaan berbagai situs
sejarah. Buktinya, kini situs-situs itu amat memprihatinkan lantaran
tidak terawat atau terpelihara. Bahkan situs bersejarah itu seakan bisu,
akibat sedikit penduduk lokal yang mampu mengisahkan riwayat
sejarahnya. Jika ada, umumnya sudah berusia lanjut dan kurang runtut
jika diminta menarasikan hal ihwal sebuah situs. Akibatnya, banyak
pengunjung yang kesulitan memahami atau menangkap pesan sejarah di balik
situs tersebut.
Di tempat ini, anda pasti akan dibuat kecewa karena tidak banyak
penduduk yang mengetahui sejarahnya. Jika ada, narasi yang diberikan
sepotong-sepotong dan terkadang kurang rasional karena kental dibumbui
unsur mistis ketimbang data rasional.
Kebesaran kerajaan Banten di daerah ini seperti tak punya riwayat,
tidak punya narasi arkeologis, kecuali dari narasi lisan dari penduduk
sekitar yang sepotong-sepotong. Pertanyaan yang muncul kemudian, apa
yang harus dilakukan masyarakat bersama pemangku kepentingan guna
mempertahankan keberadaan situs sejarah itu? Pertanyaan ini menjadi
penting diajukan.
Sebagai sebuah narasi sejarah local mutlak diperlukan. Sebab, sejarah
tidak hanya memiliki narasi besar (mayor) yang berkisah tentang
tokoh-tokoh dengan seluruh tindakan historisnya.
Sejarah, juga mengandung banyak serpihan yang mengandung narasi kecil
(minor) tentang bangunan dengan seluruh pernik-perniknya, kisah manusia
yang terjadi di dalam kemelut persoalan politik, sosial, budaya, dan
hal-hal lain yang layak diketahui sebagai referensi bagi generasi demi
generasi. Dalam konteks tersebut, situs-situs bersejarah merupakan tanda
yang secara faktual dapat dibaca untuk mengenali sosok sebuah kekuasaan
dan tokohnya secara komprehensif.
Selain itu, narasi sejarah lokal juga bisa menjadi sarana
rekonstruksi sejarah agar spirit dari situs dan peninggalan sejarah itu,
bisa menjiwai masyarakat di sekitarnya. Ketika masyarakat lokal tidak
lagi memahami sejarah sebuah situs di daerahnya, maka bisa dipastikan
perasaan untuk merawat dan menjaga itu akan hilang. Jangankan merawat,
mengunjungi saja mereka enggan. Jika demikian halnya, transformasi nilai
historis dan spirit sebuah situs terhadap penduduk lokal, tidak akan
terjadi.
Kita tentu tidak ingin satu generasi mendatang, terlepas akar
sejarahnya lantaran rusak dan musnahnya situs-situs sejarah. Sebelum
terlambat, sudah saatnya pemerintah dibantu masyarakat, melakukan
revitalisasi situs dalam bentuk pelesatariannya.
Para pengunjung ingin mengetahui kejayaan perjuangan Islam dan
sejarah Kerajaan Banten disini serta perlawanan mereka terhadap penjajah
Belanda melalui VOC-nya dimasa lalu bukan hanya dari situs-situs
belaka. Mereka butuh narasi yang akan memberikan cara pandang baru, dan
rasa ketertarikan lebih dalam tentang kota ini. Ketika ketertarikan itu
muncul, mereka tentu akan kembali lagi tidak hanya sendirian, tetapi
dengan keluarga dan rekan-rekannya. Sudah pasti, dunia pariwisata
Tangerang Selatan pada umumnya dan masyarakat lokal sekitar situs akan
diuntungkan.
Akhirnya, sudah saatnya kita membuat narasi sejarah situs-situs
peninggalan masa lalu. Selain sebagai sebagai wujud penghargaan, melalui
narasi itu kita bisa mengambil hikmah sembari meneruskan perjuangan
para pendahulu. Semoga.
Ahli Waris Keramat Tajug Minta Perlindungan [Nusantara]
Khawatir Kena Gusur
Ahli Waris Keramat Tajug Minta Perlindungan
Tangerang, Pelita
Ahli waris Komplek Makam Keramat Tajug, Serpong, Kota Tangerang Selatan
(Tangsel), Banten, mendesak Pemkot agar menjadikannya sebagai situs
sejarah.
Bila terlambat diantisipasi, komplek makam itu dikhawatirkan akan
terkena pengembangan, seperti terjadi di Tanjung Priok, Jakarta Utara
baru-baru ini.
Drs H Abdul Muin Basyuni MM Ketua Umum Paguyuban Keluarga Besar Keramat
Tajug mengatakan, desakan dari ahli waris dan para peziarah tersebut
sudah lama digulirkan. Tetapi pihaknya merasa kesulitan mengingat Kota
Tangsel masih dalam masa transisi.
Sebelum adanya pemekaran aspirasi ini sudah kami sampaikan ke Pemkab
Tangerang. Namun belum ada tanggapan serius. Sementara pembangunan yang
ada di kota ini semakin gencar dan kekhawatiran kian memuncak ketika dua
air terjun di Pelayangan juga telah hilang, padahal itu juga merupakan
cagar budaya yang diakui Pemkab, kata H Muin, Sabtu (17/4).
Menurut Muin, pengajuan Keramat Tajug sangat beralasan karena di lokasi
itu terdapat makam Tb Atief, seorang Panglima Perang Kerajaan Banten
pada Pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Dengan segala keterbatasan,
Keramat Tajug sudah dikenal sebagai obyek wisata religi.
Peziarah Komplek Makam Keramat Tajug tidak hanya datang dari kawasan
Banten dan Jawa Barat tapi juga Sumatera, Jakarta, Sulawesi, dan wilayah
lainnya. Persoalannya mungkin beda bila nantinya disyahkan sebagai
situs sejarah, bisa jadi yang datang ke sini dari semua kalangan dan
tingkat pendidikan, lanjut Muin.
Muin berharap Pemkot memperhatikan situs ini mengingat derasnya
pembangunan di Tangerang Selatan yang didominasi pengembang properti
papan atas seperti Grup Sinarmas, Sumarecon, Agung Sedayu dan lain-lain.
Meski pengembang seperti Sinarmas berjanji tidak akan menyentuh Tajug,
kekhawatiran masih membebani para ahli waris.
Kecuali ada kesepakatan tertulis, kata Muin.
Sementara Dinas Pemuda, Olahraga, Budaya dan Pariwisata Kota Tangerang
Selatan yang punya kewenangan tidak memiliki data terkait cagar budaya
dan situs sejarah di seluruh wilayah Tangerang. Yang tersedia hanya data
hotel, obyek wisata, mal dan restoran. Kota ini baru terbentuk satu
tahun. Jangankan data situs, urusan internal kantor saja butuh
penanganan serius, ucap Kadispora, Drs H Dadang Raharja, Sabtu lalu.
Kabid Budpar Drs Supryatna MM pun memberikan alasan yang sama. Pihaknya
justru meminta peran serta budayawan dan tokoh masyarakat untuk
mengggali dan melaporkan data itu.
Dadang berharap para ahli waris Tb Atief bisa sabar sampai usulan agar Keramat Tajug menjadi situs sejarah akan terlaksana.